Date: 23/1/2015
Tema: Ujian
1. Akhlak: Sabar
Dikutip dari Indahnya Kesabaran
Apabila manusia melihat keadaan Abdullah bin Hudzafah bin Qais radhiyallahu ‘anhu
ketika Raja Romawi hendak menghalanginya dari agamanya, niscaya mereka
kan melihat kedudukan yang mulia dan laki-laki yang agung.
Umar bin Khattab radhiayallahu ‘anhu memberangkatkan
tentaranya menuju Romawi. Kemudian tentara Romawi berhasil menawan
Abdullah bin Hudzafah dan membawanya pulang ke negeri mereka. Kemudian
mereka berkata, “Sesungguhnya ia adalah salah seorang sahabat
Muhammad.” Raja Romawi berkata, “Apakah kamu mau memeluk agama Nashrani
dan aku hadiahkan kepadamu setengah dari kerajaanku?” Abdullah bin
Hudzafah menjawab, “Seandainya engkau serahkan seluruh kerajaanmu dan
seluruh kerajaan Arab, aku tidak akan meninggalkan agama Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sekejap mata pun.” Raja Romawi berkata, “Kalau begitu, aku akan membunuhmu.” Ia menjawab, “Silahkan saja!”
Maka Raja memerintahkan prajuritnya untuk menyalibnya dan berseru
kepada pasukan pemanah, “Panahlah ia, arahkan sasarannya pada
tempat-tempat yang terdekat dengan badannya.” Sementara dia tetap
berpaling, enggan, dan tidak takut. Maka raja Romawi pun menurunkannya
dari tiang salib. Dia perintahkan kepada pengawalnya untuk menyiapkan
belanga (kuali) yang diisi dengan air dan direbus hingga mendidih.
Kemudian ia perintahkan untuk memanggil tawanan-tawanan dari kaum
muslimin. Kemudian ia lemparkan salah seorang dari mereka ke dalam
belanga tadi hingga tinggal tulang belulangnya. Namun, Abdullah bin
Hudzafah tetap berpaling dan enggan untuk masuk agama Nashrani. Kemudian
Raja memerintahkan pengawalnya untuk melemparkan Abdullah bin Hudzafah
ke dalam belanga jika ia tidak mau memeluk agama Nashrani. Ketika mereka
hendak melemparkannya beliau menangis.
Kemudian mereka melapor kepada
Raja, “Sesungguhnya dia menangis.” Raja mengira bahwasanya beliau takut,
maka ia berkata, “Bawa dia kemari!” Lalu berkata, “Mengapa engkau
menangis?” Jawabnya, “Aku menangisi nyawaku yang hanya satu yang jika
engkau lemparkan ke dalamnya maka akan segera pergi. Aku berharap
seandainya nyawaku sebanyak rambut yang ada di kepalaku kemudian engkau
lemparkan satu per satu ke dalam api karena Allah.” Maka, Raja tersebut
heran dengan jawabannya. Kemudian ia berkata, “Apakah engkau mau mencium
keningku, kemudian akan kubebaskan engkau?” Abdullah menjawab, “Beserta
seluruh tawanan kaum muslimin ?” Ia menjawab, “Ya.” Maka ia pun mencium
kening raja tersebut dan bebaslah ia beserta seluruh tawanan kaum
Muslimin. Para tawanan menceritakan kejadian ini kepada Umar bin
Khattab. Maka, berkatalah Umar, “Wajib bagi setiap muslim untuk mencium
kening Abdullah bin Hudzafah. Aku yang akan memulainya.” Kemudian Umar
mencium keningnya. [Lihat Siyaru A’lami An-Nubalaa’, Adz-Dzahabi, 2/14 ; dan Al-Ishabah fi Tamyizi Ash-Shahabah, 2/269].
Ini adalah kedudukan yang agung lagi mulia karena Abdullah bin
Hudzafah tetap teguh memegang agamanya dan tidak menerima agama
selainnya walaupun ia diiming-imingi dengan kerajaan Kisra dan yang
semisalnya untuk diberikan kepadanya dan seluruh kerajaan Arab. Kemudian
ia tetap membenarkan atas Allah tidak takut terhadap para pemanah yang
hendak memanahnya dalam keadaan tubuh sedang disalib. Ia juga tidak
takut terhadap belanga yang berisi air yang mendidih ketika ia melihat
salah seorang tawanan dilemparkan ke dalamnya hingga nampak tulang
belulangnya. Bersamaan dengan itu ia berharap jika nyawanya sejumlah
rambut di kepalanya yang disiksa di jalan Allah karena Allah semata.
Maka ketika ia melihat kemashlahatan umum yaitu dibebaskannnya para
tawanan, ia pun mau untuk mencium kening raja tersebut. Hal ini adalah
merupakan suatu kebijakan yang amat agung. Maka, Allah pun ridha
terhadap Abdullah bin Hudzafah dan iapun ridha kepada-Nya.
Penulis: Said bin Ali Wahf al-Qahthany, Pustaka At-Tibyan, Solo
0 comments:
Post a Comment